Di salah satu sesi pembelajaran kursus TCM, ada salah seorang murid yang menanyakan saya hal sebagai berikut, “Ada orang yang sangat suka meminum teh manis, apakah hal itu berbahaya bagi kesehatannya?”
Bila yang ia tanyakan adalah kondisi individu secara general, tentu saja saya segera menjawab, “Tidak baik,” akan tetapi, ia segera menyambung, “Orang Jawa suka meminum teh manis.”
Pertanyaannya ini mengingatkan saya akan kejadian saat saya berada di China. Di kelas saya terdapat banyak orang Korea, dan para dosen saya sering menyinggung budaya Korea saat membahas pelajaran. Orang-orang Korea sangat gemar menyantap kimchi. Bahkan sebenarnya lebih dari itu; kimchi adalah makanan wajib bagi mereka. Selalu tersaji kimchi sebagai makanan pembuka pada makan pagi, siang dan sore mereka. Kimchi sendiri adalah makanan tradisional Korea, salah satu jenis asinan sayur hasil fermentasi yang diberi bumbu pedas. Setelah digarami dan dicuci, sayuran dicampur dengan bumbu yang dibuat dari udang krill, kecap ikan, bawang putih, jahe, dan bumbu cabai merah. Sayuran yang paling umum dibuat kimchi adalah sawi putih dan lobak, begitu pula dengan yang terkenal dan dikonsumsi di luar negeri selalu kimchi dengan dua sayur tersebut. Lingkungan tempat saya tinggal dulu saat kuliah di China boleh disebut Korean-town, karenanya saya terbiasa menyantap makanan Korea, demikian pula saya jadi terbiasa memakan kimchi. Sebagai orang Indonesia, saya akui pertama kali memakannya kimchi terasa aneh di lidah saya, tetapi lama kelamaan kimchi terasa enak, bahkan setelah setahun dua tahun, saya seringkali meminta refill kimchi bila bersantap di restoran Korea, hehe… (restoran Korea membolehkan kita refill kimchisebanyak apapun yang kita mau). Teman-teman sekalian patut mencobanya.
Kembali ke topik semula. Para dosen sering menyinggung kebudayaan Korea, termasuk salah satunya adalah kimchi. Sebab kimchi walaupun enak, tetapi tidak baik bagi kesehatan pencernaan. Kimchi mengandung Nitrit (NaNO2) yang mudah menyebabkan kanker lambung, karenanya dianjurkan untuk tidak dikonsumsi berlebihan. Menilik kata-kata para dosen ini, berarti bangsa Korea telah mengonsumsi kimchi lebih dari sekadar berlebihan dan mudah terkena kanker lambung.
Pendapat ini langsung disanggah oleh teman Korea saya. Ia mengatakan, “Tidak ada orang Korea yang menderita kanker lambung karena berlebihan mengonsumsi kimchi.” Bahkan ada yang berpendapat, “Para dosen China merendahkan kebudayaan Korea.” Ujung-ujungnya menjadi salah paham yang berbahaya.
Jadi sebetulnya, pihak manakah yang salah? Tidak ada. Kedua pihak benar dalam hal ini. Kimchi benar mengandung nitrit yang mudah menyebabkan kanker lambung. Di pihak lain, kimchi aman dikonsumsi bahkan untuk tiga kali sehari sekali… selama yang mengonsumsinya adalah bangsa Korea. Inilah hal yang harus dicamkan baik-baik. Kondisi tubuh seseorang berbeda satu sama lain. Ada orang yang berstamina kuat dan mampu bekerja keras tanpa jatuh sakit, ada orang yang berstamina lemah dan mudah jatuh sakit. Ada orang yang kuat meminum alkohol bahkan sampai bergelas-gelas, ada orang yang baru meneguk sedikit saja alkohol langsung terkena alergi. Begitu pula keadaan suatu bangsa berbeda dengan bangsa lain. Orang Korea sudah terbiasa memakan kimchi karenanya kimchi tidak akan berdampak negatif bagi mereka, sebaliknya, jika bangsa non-Korea memakan kimchi secara berlebih, ia akan mudah terkena kanker lambung. Sama pula, karena orang Jawa terbiasa mengonsumsi teh manis, hal ini bukan masalah besar bagi orang Jawa, tetapi tidak bagi orang non-Jawa; mereka harus menghindari makanan manis karena mereka tidak terbiasa dengan hal itu. Dr. Hiromi Shinya, Guru Besar Kedokteran di Albert Einstein College of Medicine dan penulis Miracle of Enzyme mengatakan, “… Tubuh manusia dan tanah airnya memiliki hubungan yang tak terpisahkan… Kondisi kesehatan suatu bangsa akan banyak bergantung pada kondisi tanah tempat tinggal mereka.”
Salah satu prinsip terapi TCM yang terkenal adalah, “Menyembuhkan Berdasarkan Perbedaan Tiga Hal”. Tiga hal itu adalah Waktu, Tempat dan Individu. Jadi, keharusan perbedaan perawatan dan penyembuhan antar setiap individu sangat diperhatikan dalam TCM.
Setiap orang dilahirkan berbeda. Apa yang bisa dilakukan oleh orang lain, belum tentu bisa dilakukan oleh kita. Dan sebaliknya, belum tentu pula orang lain bisa melakukan apa yang kita lakukan. Jadi jangan memegang terlalu teguh pendapat “Bila itu baik untuk orang lain berarti itu juga baik untukku.” Kita memang patut meneladani sifat-sifat yang baik dari orang lain, akan tetapi ada juga banyak hal yang tidak boleh kita paksakan untuk ditiru. Bila kita tahu kita tidak kuat minum alkohol, jangan paksakan minum, walaupun teman-teman menganggap kita “payah” dan sebagainya. Kita hanya akan menyiksa diri kita sendiri dengan memaksakan sesuatu yang tidak cocok bagi tubuh kita.
Dan, alangkah baiknya bila kita bersikap mawas diri terhadap perbedaan antar-individu, antar suku ataupun antar bangsa. Jangan hanya melihat segala sesuatu dari satu sisi saja. Jangan hanya karena hal itu tidak baik bagi kita, lantas kita dengan membabi buta mencap buruk kebiasaan atau kebudayaan individu lain. Hal yang buruk bagi kita, belum tentu buruk bagi yang lain. Bila kita dapat mencamkan hal ini baik-baik, niscaya tidak akan mudah lagi terjadi salah paham di antara kita semua.
Terima kasih telah membaca!
Oleh: Sinshe Shinta Amelia, CMD
admin@sinsheshinta.com