Penulis mungkin adalah orang yang paling tegar dan kekeuh, karena ia harus menghadapi begitu banyak penolakan sebelum karyanya terbit.
Sebetulnya bukan penulis saja, banyak pekerjaan juga begitu. Designer, musisi, content creater, youtuber, selebgram, foodgram, sales, bahkan termasuk tenaga kesehatan.
Tenaga kesehatan yang baru lulus dari sekolahnya juga mana langsung dipercaya bisa nyembuhin orang?
Di era digital masa kini jadi penulis memang jauh lebih gampang ketimbang jaman dulu. Asal publish tulisan, selesai. Yang susah adalah dapat popularitas.
Tapi jaman dulu lebih susah lagi. Jangankan dapat popularitas, untuk tulisan naik cetak aja susahnya minta ampun. Kecuali punya modal untuk cetak sendiri. Buat yang nggak punya modal, harus ajukan ke penerbit. Terus diseleksi dulu, bagus atau nggak? Hmmm lebih tepatnya, kalau terjual bisa laku atau nggak? Kalau kayaknya pasarannya bakal sepi, ya ditolak. Padahal belum tentu jelek. Cuman “gak masuk pangsa pasar” ajah.
Mungkin keadaan inilah yang melahirkan Quote di atas.
Penulis apapun sama aja. Bukan penulis fiksi saja, penulis non fiksi juga begitu.
Penulis jurnal ilmiah juga begitu.
Kalau jurnal ilmiah, malah sampai sekarang tetap susah. Bahkan banyak penulis jurnal yang harus rela merogoh kocek untuk melihat tulisannya terbit di majalah ilmiah.
Tapi prestisenya memang lebih besar daripada sekadar melihat buku terbit. Kalau buku yang terbit, tujuannya untuk umum. Kalau jurnal ilmiah terbit di majalah ilmiah, berarti kita diakui kalangan akademisi dan intelektual.
Dan karenanya, penolakan, kegagalan, dan pengorbanan yang dibutuhkan jauh lebih besar.
Begitu juga dengan jurnal ilmiah saya.
Awal dari saya menulis jurnal ilmiah ini adalah karena, saat itu universitas tempat saya belajar mengadakan lomba karya jurnal ilmiah. Sudah lama sekali, saat saya masih kuliah tingkat empat, sudah sebelas tahun lalu, sehingga saya lupa syarat lomba tersebut apalagi jenis hadiah yang ditawarkan (sepertinya uang senilai 200RMB, tapi saya kurang ingat juga). Yang saya tahu, dengan mengikuti lomba itu jurnal ilmiah kita punya kans besar untuk masuk ke majalah jurnal ilmiah. Bagi para mahasiswa China lokal saja kesempatan itu sangat sulit karena persaingan bukan hanya antar mahasiswa S1 saja, tapi juga dengan mahasiswa S2 bahkan S3 – dan juga bahkan para dosen dan peneliti juga berharap untuk bisa memasukkan karya tulis mereka di majalah ilmiah. Jadi bukan main sulitnya bagi mahasiswa asing yang kemampuan bahasa mandarinnya tentu di bawah level orang lokal untuk bisa melihat karyanya masuk kesana.
Lalu, kalau susah begitu, kenapa saya ingin ikut? Karena saya ingin mencoba peruntungan saya. Jarang-jarang saya lihat pengumuman lomba seperti ini di kampus S1, sekarang saya sudah tingkat empat, belum tentu saya bisa ikut lagi karena sudah semakin dekat saya dengan kelulusan. Daripada menyesal, kenapa tidak saya coba saja sekarang? Dan, terlebih. Saya hanya ingin melihat jurnal ilmiah saya bisa terpampang di majalah ilmiah. Dalam benak saya yang masih belum lulus kuliah, rasanya sangat membanggakan bisa melihat jurnal saya bersanding dengan jurnal hasil mahasiswa S2 S3 bahkan karya dosen dan peneliti. Tentu saja saya senang kalau bisa menang lomba (Aku tidak muna aku suka dapat hadiah hehehe 😉 ), tapi saya tidak mau muluk-muluk, jadi itu saja sudah berkah besar bagi saya.
Saya pun mengusahakan sekuat tenaga saya.
Pertama mengajukan ide, ditolak dosen pembimbing, lalu ganti ide lain atas saran beliau, lalu mencari naskah demi naskah, setiap ada kesalahan teks, saya edit dan edit dan edit lagi sampai saya betul-betul kurang istirahat selama beberapa hari…..
Hasilnya?
Apakah kalian mengira saya menang?
Tidak ada pengumuman…
Dan itu tentu saja artinya saya kalah hahahaaa!
Teman saya yang tidak ikut lomba berkata demikian, “Nah makanya, aku malas kan ikut lomba itu, karena tahu pasti tidak ada gunanya. Mana mungkin kita bisa menang?” Saya hanya bisa memberi tanggapan dengan mengangkat bahu dan senyum hambar. Yah, namanya juga lomba, pasti ada yang namanya kalah. Jangan ikut lomba kalau tidak siap menerima kekalahan, betul? 😉
Akhirnya saya lulus, saya pulang ke Indonesia. Karya ilmiah itupun terlupakan. Waktu demi waktu berlalu, sampai 7 tahun kemudian di tahun 2017. Mungkin inilah yang dinamakan Tangan Takdir. Saya sedang mencari-cari bacaan jurnal ilmiah. Lalu sesuatu yang membuat saya kaget luar biasa muncul.
Nama saya tercantum di majalah jurnal ilmiah.
Saya mengedip-ngedipkan mata sebentar. Hey, ini pasti salah lihat. Mungkin kebetulan penulisnya namanya persis saya. Tetapi, judul tulisannya tidak mungkin saya salah. Itu memang tulisan saya, walau sudah 7 tahun berlalu, saya masih mengingatnya.
Cukup sulit bagi saya untuk mengakses jurnal ilmiah mandarin sementara saya berada di Jakarta. Tetapi Tangan Tuhan sungguh membantu sehingga dengan keajaiban-Nya saya berhasil membuka akses jurnal itu seratus persen. Saya membaca kata per kata. Tidak diragukan lagi, ini memang karya saya.
Karya tulis saya memang masuk majalah ilmiah!
Walaupun sudah tujuh tahun berlalu, perihal ini tetap membuat saya sangat gembira. Karena saya tahu bukan perkara gampang bagi akademisi untuk menampilkan karyanya di majalah ilmiah, apalagi tulisan dari mahasiswa yang belum lulus. Dan bukankah ini yang awalnya saya harapkan? Bukan menang lomba, bukan dapat hadiah uang, asal melihat karya saya terpampang disana saya sudah bangga sekali.
Tapi ternyata kabar gembiranya masih berlanjut. Di tahun 2021 ini, saya tanpa sengaja temukan lagi karya ilmiah saya masuk Wanfang Data. Wanfang Data adalah ejournal databases, tempat karya-karya ilmiah berkumpul. Semua akademisi, bukan hanya para mahasiswa, bahkan para dosen dan peneliti senior mencari data dari sini. Wanfang Data adalah salah satu dari sedikit e-journal databases leader di China, afiliasi dengan Keminfo China, kalau di Barat setara EBSCO.
Kabar sangat baik yang baru saya temukan 11 tahun kemudian.
Saya sebetulnya termasuk orang yang mudah menyerah. Tidak melihat kesuksesan dalam waktu singkat, saya menyerah. Baru posting tulisan sebulan dua bulan, tidak dapat hasil yang saya harapkan, saya langsung putus asa bahkan bisa terpikir untuk berhenti posting. Dulu bahkan lebih parah. Kalau orang-orang tidak mempercayai kemampuan saya, saya frustrasi. Kalau dengar orang membanding-bandingkan saya dengan yang lain, saya malu dan down. Dan jujur, ketika keadaan yang bagus mulai memburuk, putus asa selalu mencoba menggerayangi saya.
Kata-kata Jack Ma dan Robert Kiyosaki lah yang akhirnya menguatkan saya. Jack Ma mengisahkan kalau sebelum dia sekaya sekarang, dia juga dipandang rendah semua orang. Saat dia mendirikan web bisnis pertama kalinya teman-teman bisnisnya meninggalkan dia hingga dia tinggal sendirian, dan selama 3 tahun awal-awal berbisnis, dia tidak dapat untung sama sekali. Dia tetap bertahan hanya karena dukungan pujian dari banyak orang. “Jangan hanya lihat saat saya sukses. Lihatlah perjuangan keras saya sebelum ini,” kata Jack Ma.
Sedangkan menurut Robert Kiyosaki, usaha apapun harus dilakoni minimal lima tahun. LIMA tahun, bayangkan! Dia juga tidak menjamin sesudah kita mati-matian ngotot 5 tahun di sektor itu pasti berhasil, dia hanya mengizinkan kita untuk menyerah dan mencari jalan lain. Tetapi jangan berhenti sebelum lima tahun tersebut, sebab keberhasilan atau kegagalan usaha kurang lebih ditentukan dalam lima tahunnya berusaha.
Kesuksesan memang tidak bisa dicapai secara instan. Tetapi bahkan lama waktu kita untuk mencapai kesuksesan bisa jadi jauh lebih lama dari perkiraan terburuk kita. Sepertinya malah, kita sudah berusaha lama sekali… dan masih gagal saja tidak ada titik terang sama sekali. Ada penulis yang berkata bahwa untuk bisa mendapatkan views dan rates yang membanggakan kita harus rajin update posting selama setahun. Tapi ternyata, setahun pun masih tidak cukup. Bahkan tiga tahun… lima tahun… masih juga belum cukup. Saya baru mengetahui karya saya masuk majalah ilmiah 7 tahun kemudian, dan masuk Wanfang Data 11 tahun kemudian.
Hidup ini sungguh unik. Ketika saya berharap dan melekat, saya makin jauh dari impian saya. Dan seringkali ketika saya total melepas, saya malah mencapai impian saya. Salah satunya adalah perihal ini. Saya berharap menang, ternyata malah saya kalah. Eh malah ketika saya melupakannya, justru saya melihat karya saya terpampang di jurnal ilmiah.
Jadi, bagi teman-teman yang kebetulan tengah dilanda frustrasi karena merasa hanya dapat kegagalan, jangan pernah menyerah. Kita tidak akan pernah tahu kapan kita sukses. Teori bilang begini bilang begitu, bilang setahun tiga tahun lima tahun… Itu semua hanya bantuan acuan untuk memotivasi kita agar jangan cepat menyerah. Kenyataannya, tidak ada yang tahu. Mungkin 1 tahun kemudian, mungkin 5 tahun kemudian, mungkin ketika kita sudah jadi kakek-kakek atau nenek-nenek… atau mungkin juga besok! Hanya Tuhan yang tahu.
Asalkan kita tidak menyerah, kita belum gagal.
Semoga Anda semua berhasil mencapai mimpi positif Anda!
3 Comments
Jurnal Ilmiah nya ada terjemahannya Sin She?
Mohon maaf, baru dalam bahasa mandarin dok
I’m amazed, I have to admit. Seldom do I come across a blog that’s both educative and engaging, and let me tell you, you’ve hit the nail on the head. The problem is something which not enough men and women are speaking intelligently about. Now i’m very happy I stumbled across this during my search for something relating to this.