Benar. TCM telah berhasil menyembuhkan permasalahan pada tubuh saya, yang diklaim oleh para dokter konvensional bahwa ia tidak akan pernah bisa disembuhkan. Dan ini nyata karena saya memang mengalaminya sendiri.
Saya sudah memakai kacamata berminus 20 disaat berusia tujuh tahun. Bahkan sebenarnya kacamata itu sama sekali tidak mampu membantu saya, makanya saya malas memakainya, karena dipakai atau tidak, efeknya sama saja. Jangankan tulisan di papan tulis, tulisan di buku pun saya tidak bisa melihatnya dalam jarak pandang normal 30 cm. Saya harus nyaris menempelkan wajah ke buku agar bisa melihat. Untuk melihat tulisan di papan tulis saya harus menggunakan alat bantu khusus. Walaupun aneh juga, saya bisa berjalan, bersih-bersih rumah, atau melakukan kegiatan lainnya (asal jangan melibatkan yang terlalu kecil saja) dengan normal bahkan tanpa kacamata, inilah pembeda saya dengan orang minus yang memang butuh bantuan kacamata untuk bisa berkegiatan dengan baik.
Saya sudah dibawa berkeliling dari satu dokter mata ke dokter mata lain, dari yang biasa saja sampai yang sangat terkenal. Proses pemeriksaan kepada saya selalu yang paling lama dan menyakitkan. Saya ingat suster selalu memberi obat tetes mata yang sangat perih, katanya agar pupil mata saya bisa terbuka lebar dan memudahkan pemeriksaan, tapi yang terjadi tetap saja pupil saya tidak ada perubahan, dan si suster memaksa meneteskan obat itu berkali-kali sampai saya menangis tidak tahan dan ibu saya memaksa dengan tegas untuk menghentikan si suster. Anehnya pula, pasti selalu terdapat perbedaan diagnosa antar satu dokter dengan dokter lain. Ada yang bilang saraf mata lemah, ada juga yang bilang macula lemah, ada yang bilang glaukoma bahkan ada yang bilang saya tidak akan bisa melihat saat dewasa nanti! Saya sendiri, akhirnya menyimpulkan bahwa kondisi saya terlalu aneh bin ajaib untuk bisa diketahui secara pasti. Hanya satu hal yang pasti; Mereka semua angkat tangan terhadap kondisi saya.
Saya bahkan juga sudah keluar negeri untuk memeriksakan mata saya, karena bagaimanapun dokter dalam negeri sudah menyerah dalam menangani saya. Di Singapura saya datang ke dokter yang sangat terkenal disana. Dan kembali saya diperiksa secara mendalam. Tidak tanggung-tanggung, mereka bahkan memeriksa saya 3 hari. Sudah itu, saya menjadi pasien yang datang paling pagi dan pulang paling belakangan, padahal saya boleh dibilang pasien berusia termuda disana (saya saat itu berusia 16 tahun).
Akhirnya pula, dokter menyatakan tidak bisa berbuat apa-apa terhadap mata saya. Diagnosanya lain lagi. Ia mengatakan mata saya terkena Axenfeld Anomaly – jadi ini sejenis kelainan yang tidak berbahaya, saya tetap akan bisa melihat sampai tua, namun dalam keterbatasan. Dari pengalamannya selama 30 tahun, ia hanya pernah menjumpai kasus seperti saya sebanyak 2 kali dimana salah satunya adalah saya.
Saya ingat saya sempat bertanya, “Jika tidak bisa disembuhkan, bagaimana jika minus saya dikurangi saja?”
Dan jawabnya, “Diringankan pun juga tidak bisa. Operasi kemungkinan berhasilnya hanya 50%.”
Dalam dunia operasi, jika dokter tidak bisa menjanjikan keberhasilan di atas 90% maka operasi itu menjadi sangat berisiko. Alalagi hanya 50%, dokter sendiripun menyuruh untuk jangan dioperasi karena takutnya malah gagal dan saya malah jadi buta.
Tak terkatakan, betapa kecewanya saya. Apalagi mata seperti ini telah acapkali membuat saya melepas cita-cita saya. Seluruh bidang MIPA, saya tidak memilihnya untuk mendalami di kuliah, bukan karena saya tidak mampu, namun karena keterbatasan penglihatan saya ini. Begitu juga dengan komputer, padahal saya sangat suka desain grafis.
Tapi mungkin, inilah berkat Sang Mahakuasa. Sudah ditakdirkan mata saya akan bisa disembuhkan, selain untuk juga membantu memberi kesembuhan kepada orang lain yang membutuhkan.
Ketika saya sedang menemani ayah saya berobat akupunktur, sang akupunkturis menyarankan pada saya untuk belajar akupunktur. Saya dan keluarga yang baru saat itu mengenal akupunktur terkejut juga. Apa itu akupunktur saja saya tidak paham, bagaimana mungkin saya bisa mempelajarinya??? Namun sesudah merenung, serta mendiskusikan dengan keluarga, akhirnya saya pun terbang ke China, mempelajari akupunktur serta ilmu pengobatan tradisional Tionghoa di Tianjin University of Traditional Chinese Medicine.
Mulanya saya juga menekuni ilmu TCM dengan perasaan minder. Aduh mata saya seperti ini, bisa tidak saya melihat jarum yang sangat tipis serta melihat tubuh pasien dari jarak pandang normal (karena memang sangat berisiko menangani pasien bila melihat terlalu dekat). Perasaan negatif biasanya melahirkan hasil yang negatif juga, saya pun mengalami cukup banyak rintangan sulit semasa mempelajari akupunktur.
Tetapi selama itu juga banyak dosen saya yang bantu menolong menyembuhkan keadaan mata saya. Memang ada yang bersikap negatif seperti dokter konvensional, tetapi lebih banyak yang menyemangati saya dengan berkata, “Kenapa tidak coba saja dulu?”
Tidak hanya satu dua dosen ahli mata yang saya datangi untuk berobat, dan perjalanan waktu menyembuhkan mata saya bukan lagi bicara bulanan, melainkan tahunan. Saya juga bukan hanya datang untuk diakupunktur seminggu sekali atau dua kali, melainkan setiap hari. Karena bagaimanapun TCM bersifat tradisional, bersifat alamiah. Tidak mempunyai kecepatan sebanding obat kimia atau operasi. Jadi diperlukan waktu yang panjang untuk bisa dicapai kesembuhan. Hanya bagusnya, efek samping TCM sangat kecil bahkan boleh dibilang tidak ada efek samping sama sekali, tidak seperti operasi yang bila gagal mengakibatkan resiko sangat besar. Saya jadi berani untuk mencobanya.
Berbeda dengan diagnosa dokter konvensional, diagnosa para ahli TCM ini semuanya mengarah ke satu titik: saraf bola mata yang lemah karena Defisiensi Yin organ Ginjal dan Hati. Ini jelas merupakan keberhasilan besar yang berhasil dicapai ilmu TCM, dan bagai mencercahkan sinar harapan bagi saya yang tadinya betul-betul sudah putus asa untuk sembuh. Mungkin, TCM benar-benar bisa menyembuhkan saya???…
Kalau ada harapan sembuh, mau berapa lama pun pengobatannya tentu akan saya jalani!
Walaupun diagnosanya sama, tapi cara-cara penyembuhan para dosen saya berbeda antara satu dengan yang lainnya. Ada yang sangat sakit sampai membuat saya selalu menangis, ada yang sangat nyaman sehingga membikin tertidur. Dan ada juga dosen yang hanya memberitahu saya titik akupunktur mana yang harus ditusuk, lalu menyuruh saya untuk mengerjakannya sendiri. Alasannya, karena saya adalah mahasiswi TCM dan inilah momen terbaik untuk mempraktikkan ilmu yang telah saya pelajari.
Jelas saya bingung. Menusuk bagian mata sendiri, bagaimana caranya??? Taruhlah katanya bisa melihat cermin, tapi bagaimana caranya menusuk titik di belakang kepala? Namun, saya segera teringat pada artikel mengenai para tunanetra yang menjadi akupunkturis. Mereka tidak bisa melihat, tapi konon hasil akupunktur mereka lebih baik daripada orang yang bisa melihat, karena insting mereka yang lebih baik. Saya memang telah mendengar bahwa para tunanetra memiliki kepekaan, bahkan juga indera keenam, yang lebih baik ketimbang yang bisa melihat. Alasannya, ketika salah satu indera manusia ditutup, maka indera lainnya akan menjadi lebih kuat karena dipaksa untuk meningkatkan kemampuannya. Bertolak dari penuturan di atas, saya pun tertantang untuk bisa menterapi diri saya sendiri.
Dan ternyata, saya bisa melakukannya!
Sungguh, tanpa perlu melihat sama sekali, saya bisa menusuk titik-titik akupunktur di wajah, atas kepala dan belakang kepala saya. Bahkan menusuk bagian wajah pun saya tidak perlu menggunakan cermin.
Fakta ini membuat saya jadi tidak rendah diri lagi. Ternyata kemampuan penglihatan tidaklah menjadi kebutuhan utama dalam akupunktur. Yang menjadi kebutuhan utama adalah kemampuan untuk mendiagnosa serta menyembuhkan penyakit pasien.
Kemudian, saya bertemu dengan seorang dosen optalmologi paling senior di rumah sakit. Ia berusia sekitar tujuh puluh tahunan, namun memiliki vitalitas layaknya masih lima puluhan. Pengobatan ala dia lain lagi – ia memberikan saya obat herbal yang harus saya minum secara rutin. Sama sekali tidak butuh akupunktur. Ohya, dan obat ini harus saya konsumsi dalam jangka panjang. Seberapa panjang? Tidak tahu. Yang penting terus saja konsumsi. Jangan hanya karena tidak ada reaksinya lantas kita berhenti meminumnya.
Sekitar empat atau lima bulan kemudian, efek obat tersebut muncul. Saya mulai pusing saat memakai kacamata saya. Tapi saya masih tidak tahu kalau itu merupakan tanda-tanda perbaikan mata saya, saya kira itu akibat saya terlalu lelah belajar. Kemudian…. saya yakin benar disinilah kebesaran Tuhan dalam menolong saya. Tidak ada angin tidak ada hujan, teman saya iseng mencoba kacamata saya, dan di pihak lain saya pun juga iseng mencoba kacamatanya. Saat saya mencobanya, penglihatan saya malah jadi lebih jelas dan tidak ada rasa pusing!
“Kacamatamu… minus berapa?” Saya bertanya.
“Minus satu,” jawabnya.
Mata saya malah melihat lebih jelas dengan kacamata minus satu?!? Saya pun tergerak untuk memeriksakan mata saya ke dosen senior tadi. Sang dokter lantas menyarankan saya untuk melakukan pemeriksaan oleh koleganya, seorang dokter wanita.
Saat memeriksa saya, sang dokter wanita pun masih merasa skeptis. Katanya, tidak mungkin ada perbaikan karena biasanya mata manusia malah memburuk. Ia malah mengetes saya dengan kacamata minus 25, lebih dalam 5 dibanding kacamata saya. Yang terjadi adalah penglihatan makin kabur dan saya semakin pusing.
Dia berkata, “Tidak ada perubahan dengan mata kamu.”
Walau saya shock juga dengan pernyataan depresif nya, ada satu kekuatan yang mendorong saya tetap bertahan di sana, serta menjawab, “Tapi saya merasakan mata saya ada perubahan. Kenapa tidak Anda coba saja dulu kacamata yang minusnya lebih rendah?”
Didesak terus, akhirnya iapun menyanggupi permintaan saya. Ia mencobakan kacamata berminus lima.
Dan…..
Ternyata memang saya bisa melihaf lebih jelas dengan kacamata ini! Tulisan yang tadinya tak mampu saya lihat, kini bisa saya lihat dengan kacamata ini!
Si dokter wanita sendiri masih tercegang dan sukar percaya dengan perbaikan mata saya. Ia menggumam takjub, “Ini sungguh suatu keajaiban…”
Benar.
Ini sungguh suatu keajaiban buat saya. Kemukjizatan besar.
Bagaimana tidak? Minus kacamata saya turun dari 20 ke 5, sudah itu jika kacamata saya yang dulu sama sekali tidak membantu sedikitpun, kacamata saya ini bisa membantu saya cukup banyak. Jika dulu saya harus melihat sampai menempelkan wajah ke buku atau gadget, kini saya bisa melihat dari jarak pandang lebih jauh. Jarum akupunktut pun bisa saya lihat dari jarak cukup jauh. Dan jika dulu sulit mengenali orang atau melihat pergerakannya dari jauh, sekarang itu sudah bisa saya lakukan. Perubahannya sungguh nyata terjadi!
Walau memang, masih tetap ada ketidakmampuan pada mata saya, seperti misalnya melihat tulisan yang sangat kecil, apalagi dari jauh, saya masih belum mampu. Tetapi perubahan ini sudah membuat saya sangat bersyukur. Manusia hendaknya selalu bersyukur sekecil apapun nikmat yang diterimanya, jangan terlalu serakah dan menuntut terlalu perfek, barulah manusia bisa berbahagia. Seperti saya, saya merasa sangat bahagia atas perbaikan besar pada penglihatan saya. Bila dokter konvensional menyatakan, untuk meringankan penglihatan saya saja mereka tidak mampu, maka TCM mampu melakukannya! Kacamata minus lima tentu lebih tidak mengerikan dibanding minus dua puluh lima. Dan kini, berbeda dengan yang dulu, penglihatan saya tidak lagi mengundang belas kasihan dari orang-orang baik atau hinaan dari mereka yang berakhlak kurang baik, sekarang orang memandang saya secara biasa-biasa saja, layaknya orang minus biasa. Bagi saya, ini sudah merupakan suatu kesembuhan. Sebuah kesembuhan besar.
Sudah sembilan tahun berlalu semenjak kala pertama saya mencoba menyembuhkan mata saya. Kini sesudah saya lulus kuliah dan kembali ke Jakarta, saya masih terus menterapi sendiri mata saya. Selain berbekal ilmu dari para dosen saya, saya juga senantiasa mengikuti perkembangan dunia medis terutama dari kalangan medis tradisional. Saya mengikuti anjuran para kolega yang memang bermanfaat bagi penglihatan saya.
Dan saya juga berusaha menjaga secara ketat pola melihat saya. Saya berusaha keras melepas adiksi terhadap gadget dan internet. Sungguh, di dunia internet sekarang ini, adiksi internet boleh dibilang adalah adiksi nomor satu yang paling sulit dilawan. Tetapi bagaimanapun juga, saya tetap berusaha keras tenggelam dalam dunia maya. Saya hanya menggunakan gadget seperlunya, seperti menjawab pesan WA atau chat penting. Dan kalau bisa menggunakan aplikasi text-to-speech yang bisa membacakan setiap tulisan di gadget, saya akan menggunakannya. Aplikasi itu bukan hanya diperuntukkan bagi orang dengan kesulitan penglihatan saja – ia diperuntukkan bagi siapapun yang ingin menjaga bola matanya.
Kesembuhan itu bukan hanya diperoleh orang yang 100% menjadi normal. Tapi, dari tidak ada harapan untuk beroleh sedikitpun suatu kebaikan, dan kini penyakitnya berkurang drastis, itupun juga merupakan kesembuhan. Dan saya percaya, penglihatan saya akan terus mengalami peningkatan.
Terimakasih banyak Tuhan!
Terimakasih banyak ilmu TCM!
Kemukjizatan ini benar-benar mendorong saya untuk mantap menjadi terapis TCM yang profesional dan mendedikasikan kemampuan untuk bantu memberi kesembuhan pada sesama.
3 Comments
Berbagi pengalaman yang hebat perihal TCM dan akupukntur. Terima kasih sinse. ?
Terimakasih atas apresiasinya mbah semata wayang ???
LUAR BIASA DAHSYAT. PENGALAMAN NYA